Ucapan selamat saya sampaikan kepada Pak Tolkah Mahsun, MA yang baru saja selesai mempertahankan Disertasinya bertajuk "Alternative Dispute Resolution (ADR) dalam Islam: Studi terhadap Pemikiran Al-Mawardi tentang Sulh" dengan sangat baik dalam Ujian Terbuka Promosi Doktor Studi Islam pada Pascasarjana UIN Walisongo Semarang.
Disertasi ini keren karena penulisnya meramu teori dan konsep-konsep tentang "sulh" yang berkembang dalam tradisi fiqh dengan konsep-konsep negosiasi, mediasi, dan rekonsiliasi sebagai bagian dari ADR modern. Sebagai Co Promotor sekaligus kolega dekat, tentu saya ikut merasakan aura kegembiraan yang luar biasa atas capaian dosen yang juga WD II FSH UIN Walisongo ini, meskipun capaian ini tergolong sangat terlambat.
Harusnya 10 tahun yang lalu ia sudah bisa meraih gelar doktor, jika dilihat dari potensi akademik, ketekunan dan pengalamannya yang sangat kaya. Namun, barangkali karena tugas yang sangat banyak yang dibebankan di pundaknya oleh institusinya, ia tampak merelakan cita-cita mencapai gelar doktornya agak dikesampingkan sementara.
Pak Tolkah adalah dosen yang unik dan menarik. Setelah lulus SDN di Talun Kayen Pati, ia melanjutkan ke MTs Walisongo Kayen, lalu PGAN Lasem dan S1 di Fakultas Syariah IAIN Walisongo. Selain belajar di pendidikan formal, Tolkah kecil juga tekun belajar di banyak pesantren. Mulai Pesantre Al-Ishlah, Talun, lalu di Pesantren Nailun Najah Lasem Rembang ketika di PGA dan di Pesantren Al-Fattah sewaktu kuliah di Semarang.
Seperti hendak menguji nyali, meski tetap setia pada Islamic Studies, Tolkah muda tidak melanjutkan kuliah S2nya di IAIN atau di Timur Tengah, tetapi jutru memilih University of Cologne di Jerman. Sebuah keputusan yang terasa ganjil untuk masyarakat desa dan dunia pesantren pada umumnya ketika itu, bahkan mungkin sekarang.
Belum puas dengan itu, ketika ada kesempatan, Tolkah mengambil studi S2 lagi di Eropa. Kali ini mengambil bidang Conflict Studies di European Peace University (EPU) Austria dan gelar MA ia gondol dari Universitas bergengsi di bidang studi konflik dan perdamaian ini.
Dia mewarisi ilmu dari dedengkot Conflict Transformation and Peace Studies, yakni Professor Johan Galtung yang sangat terkenal itu. Ketika saya dan teman-teman UIN Walisongo berkesempatan menikmati beasiswa dari Nuffic merasa cukup untuk kuliah satu semester saja, ia menancapkan komitmen untuk mereguk ilmu itu hingga tuntas pada Program Master.
Saya melihat Pak Tolkah ini sebagai pribadi yang lengkap. Penguasaannya dalam khazanah dan tradisi keilmuan keislaman klasik luar biasa yang memungkinkannya bisa berselancar dalam belantara kitab-kitab kuning yang gundul. Pada poin ini, ia layak disebut sebagai kyai yang otoritatif. Tetapi lebih dari itu, pergumulannya dengan dan penguasannya pada tradisi Social Sciences moderen juga tidak diragukan.
Potensinya yang seperti ini sesungguhnya membuka ruang yang sangat luas dalam mengartikulasikan paradigma pengembangan keilmuan yang dianut oleh UIN Walisongo, yakni paradigma Unity of Sciences (Wahdatul Ulum). Trilogi Strategi paradigma Unity of Sciences, yakni spiritualisasi ilmu-ilmu modern, humanisasi ilmu-ilmu keislaman dan revitalisasi local wisdom, sungguh membutuhkan pasokan visi, konsep, pikiran dan kiprah nyata orang dengan spek dan kapasitas seperti dia.
Intinya, Pak Tolkah sangat compatible dengan paradigma tersebut. Tentu kita harus menunggu kabar baiknya setelah ini. Bukankah seorang doktor tidak hanya diuji di ruang promosi. Ia justru akan memasuki ruang ujian yang sesungguhnya, yakni di laboratorium masyarakat. Di situ kita bersepakat, pasti lebih challenging!
Sekali lagi selamat kepada Pak Tolkah dan keluarga, terutama isteri dan anak-anak yang luar biasa. Selamat juga untuk keluarga besar FSH UIN Walisongo. Semoga capaian ini berkah dan mbarokahi. Selamat Hari Arofah dan menyongsong Idul Adha dalam keadaan sehat, aman, damai, sentosa. Amin
0 Comments