Ruang digital kita makin pengap dijejali berbagai ragam konten yang menuntut kita harus makin kritis. Terlebih yang menyangkut Covid-19. Kita makin sulit membedakan orang2 yang bodo beneran atau berlagak bodo, orang pinter beneran atau sok keminter. Kalau beda tafsir agama yang transendental, verifikasinya secara empiris dan saintifik susah, sehingga beda pendapat sulit diputus, akhirnya dibiarkan dalam ruang otoritas iman. Faman sya'a fal yu'min, waman sya'a fal yakfur.

Tetapi beda pendapat ttg Covid-19 sebagai bagian dari ranah ilmu kesehatan dan kedokteran sesungguhnya bisa diverifikasi melalui riset empiris. Jadi tidak perlu diletakkan dalam "dukung mendukung" seperti dalam aspirasi politik Pilpres misalnya.Sains kesehatan dan kedokteran itu kan epistemologinya positivism. Ia benar-benar beda dengan fatwa agama yang "dari sononya" secara epistemologis memang menjadi ladang ikhtilaf.

Seperti tahlilan misalnya, satu kelompok bilang sunnah (jurusan surga), kelompok lain bilang bid'ah (jurusan neraka). Atau dimusim Covid 19 yang makin mengganas akhir-akhir ini, apakah Tuhan lebih suka kita tetap Jum'atan di Masjid atau shalat dhuhur di rumah. Sampai kapanpun beda tafsir agama seperti itu gak bisa diverifikasi secara positivistik.

Tapi sekali lagi, kalau sains kedokteran kan bisa. Siapa mengajukan klaim saintifik apa dan siapa membantahnya, bisa diuji secara saintifik berdasarkan kaidah-kaidah ilmu pengetahuan.
Saya menangkap gelagat sementara orang yang kepingin epistemologi sains dipaksa dibawa ke gelanggang ilmu sosial politik yang hermeneutis dengan suatu agenda.

Tapi embuhlah. Di era post truth, kebenaran itu ditentukan bukan oleh data dan fakta, tetapi oleh emosi dan rasa. Di era ini, fakta tidak terlalu berpengaruh dalam membentuk opini publik dibanding emosi dan keyakinan personal. Di era post-truth ini, para begawan yang expert di bidang sains kesehatan dan kedokteran seperti dipaksa berebut kebenaran di ruang digital dengan adu kuat memberi pencerahan, berebut mempengaruhi alur emosi dan keyakinan masyarakat.

Mereka bahkan harus berebut "ruang kebenaran" dengan kepakaran warga (citizen experts). Sinyalemen Beth Simon Noveck (2016) tentang tengah terjadinya pergeseran dari pakar "resmi" (credential experts) ke pakar "warga" tampaknya menjadi nyata. Tetapi kita masih bersyukur, fenomena menghawatirkan tersebut tidak atau setidaknya belum terjadi di dunia olahraga. Pemenang Copa Amerika 2021 adalah Argentina, tidak ada ikhtilaf. Tidak ada yang melancarkan kampanye kebohongan meski jagonya kalah adalah kegetiran dahsyat. Inggris Vs Italia (Tokek = Inggris, Tokek = Italia, Tokek = Italia, Tokek = Inggris, Tokek = .......?, Tokek = .......?, Wallahu a'lam bis shawab). 

Demikian final Piala Eropa 2021 menurut perspektif agamawan. Saya berharap, Inggris atau Italia yang akan tampil sebagai juara Euro 2021 dini hari nanti juga tidak ada ikhtilaf. Masak kita harus dihadapkan juga pada perdebatan tentang kemenangan tim sepak bola dan kehilangan akal sehat kita atas nama era post-truth? absurd dan nggak lucukan?