BANDUNGAN - Dua hari ini saya kembali menikmati suasana training setelah istirahat cukup lama karena Pandemi Covid-19. Suasana yang mengasyikkan tentu. Aku harus ngaku, suasana seperti ini memang ngangeni.

Ceritanya, Rumah Moderasi Beragama (RMB) UIN Walisongo menyelenggarakan Training of Trainer Pendidikan Moderasi Beragama (Penderma) bagi para dosen dan tenaga kependidikan.

Kyai Doktor Imam Yahya Sang Nakoda RMB dua atau tiga hari sebelumnya menghubungi saya dan meminta saya untuk mendampingi mereka berlatih menjadi trainer. Tampaknya, mereka dipersiapkan sedemikian rupa agar bisa mengelola paket-paket pendidikan moderasi beragama secara efektif dan menyenangkan. Yang disebut terakhir ini sangat penting, karena Pandemi Covid-19 sudah sangat menyusahkan sehingga kita butuh model pembelajaran yang menyenangkan tetapi tetap efektif. Disain trainingpun akhirnya diramu sedemikian rupa supaya menyenangkan.

Paket pendidikan singkat ini dirancang untuk menyemai sekaligus mempromosikan cara pandang, sikap dan perilaku "wasathiyah" dalam beragama. Rasanya ini adalah usaha strategis yang, entah seberapapun, berkontribusi untuk merawat kebhinekaan sekaligus merajutnya agar NKRI tetap kokoh dalam menghadapi musim pancaroba. Angin perubahan yang sangat kencang berhembus dari banyak penjuru pasca reformasi sedikit banyak memang menghadirkan turbulensi dalam kehidupan beragama. Terlebih ketika demokratisasi dan kran keterbukaan di era reformasi ini difasilitasi oleh teknologi internet dan merebaknya media digital (sosmed). Klop seperti "tumbu entuk tutup". Tak pelak, turbulensi itu menjai sangat terasa.

Semua orang sepertinya boleh bicara apa saja dan mengekspresikan apa saja termasuk dalam kehidupan beragama. Tak jarang dibumbui dengan pemaksaan kehendak. Tidak hanya di dunia nyata, tetapi juga di dunia maya. Beberapa kecenderungan kurang menggembirakan dalam kehidupan beragama bisa dilihat. Misalnya indeks toleransi. Menurut banyak laporan, indeks ini mengalami penurunan yang patut diwaspadai. Pengakuan dan penerimaan terhadap eksistensi pihak lain yang berbeda (qabulul akhar) sebagai indikator toleransi menunjukkan gelagat kurang menggembirakan. Gejala extrimitas dalam perilaku dan ekspresi keagamaan tampak merangkak naik. Wawasan kebangsaan semakin memudar justru oleh tafsir agama yang delegitimatif dan mempromosikan ideologi lain. Berita-berita di media mainstream maupun non mainstream sangat jelas memotret kecenderungan ini.

Kearifan lokal warisan para leluhur penyebar agama juga semakin kencang dipertanyakan soal validitas, fungsionalitas dan relevansinya dalam membangun peradaban berdasarkan sinaran agama yang otentik. Banyak yang mempromosikan pandangan regresif dalam beragama dan mempersempit ruang bagi kreatifitas budaya lokal dalam mengartikulasikan agama. Masing-masing membangun narasi dan berebut ruang publik dalam kontestasi yang keras dan terkadang menggunakan cara-cara kekerasan yang sangat mengkhawatirkan.

Cara-cara itu terasa sangat menciderai prinsip keberadaban dan prinsip hidup bersama dalam keragaman secara damai dan terhormat. Jika tidak dikelola secara baik, kecenderungan ini bisa berubah menjadi bencana yang memporakporandakan bangunan kebangsaan yang telah diperjuangkan oleh para leluhur kita dengan darah dan air mata.

Saya menyadari, betapa usaha-usaha untuk merajut dan merawat kebhinekaan menjadi niscaya. Demikian pula mempromosikan moderasi beragama untuk memperkokoh bangunan NKRI juga sangat penting. Itulah sebabnya saya mengacungi jempol pada RMB UIN Walisongo dengan agenda-agenda strategisnya. Teruslah bergerak. Jangan berhenti hanya pada kata-kata!